ReadMEDIA KALIMANTAN RABU 22 FEBRUARI 2017 by Media Kalimantan on Issuu and browse thousands of other publications on our platform. Start here! IMAM Hasan Al-Bashri adalah tokoh sufi yang hidup pada masa awal kekhalifahan Umayyah. Beliau lahir di Madinah pada tahun 21 Hijrah 642 Masehi. Ayahnya merupakan pembantu sahabat Rasulullah SAW yang terkenal sebagai penulis Alquran, Zaid bin Tsabit. Ibunya adalah Khairoh, salah seorang istri nabi, Ummu usia 14 tahun, Al-Hasan pindah ke kota Basrah, Irak, dan menetap di sana. Dari sinilah beliau mulai dikenal dengan sebutan Hasan Al-Bashri. Imam Hasan kemudian dikategorikan sebagai seorang tabi'in generasi setelah sahabat. Hasan al-Basri juga pernah berguru kepada beberapa orang sahabat Rasulullah sehingga dia muncul sebagai ulama terkemuka dalam peradaban Hasan Al Bashri adalah para sahabat Nabi , antara lain Utsman bin Affan, Abdullah bin Abbas, Ali bin Abi Talib, Abu Musa Al-Asy'ari, Anas bin Malik, Jabir bin Abdullah dan Abdullah bin Umar. Imam Hasan al-Basri meninggal dunia di Basrah, Iraq, pada hari Jum'at 5 Rajab 110 Hijrah 728 Masehi, pada umur 89 Hasan adalah pendukung kuat nilai tradisional dan cara hidup zuhud, kehidupan dunia hanyalah perjalanan untuk ke akhirat, dan kesenangan dinafikkan untuk mengendalikan nafsu. Dia merupakan tokoh sufi dalam islam. Khutbah-khutbahnya dianggap sebagai contoh terbaik dan terawal sastra ketika datang seseorang kepada Imam Hasan Al-Basri mengadukan masalahnya. Orang pertama datang mengadukan musim paceklik, kemudian Hasan Al-Basri berkata kepadanya “ Istighfar lah engkau kepada Allah”.Kemudian orang kedua datang mengadukan tentang kemiskinannya, Hasan Al-Basri juga berkata kepadanya ” Istighfar lah engkau kepada Allah“. Datang lagi orang ketiga mengadukan kondisinya yang tidak kunjung dikaruniai anak, Hasan Al-Basri berkata kepadanya ” Istighfar lah engkau kepada Allah“. Datang lagi orang keempat mengadukan tentang kebunnya yang kering, kemudian Hasan Al- Basri berkata kepadanya ”I stighfar lah engkau kepada Allah”. Semua keluhan dan masalah yang diadukan kepada Hasan Al-Basri dijawabnya dengan “ Istighfar lah engkau kepada Allah”.Memperhatikan hal tersebut, al-Rabi bin al-Sabih, murid Hasan Al Basri bertanya kepada beliau dengan sangat penasaran. Wahai Syaikh Hasan al-Basri, tadi orang-orang berdatangan kepadamu mengadukan berbagai permasalahan, dan engkau memerintahkan mereka semua agar beristighfar , mengapa demikian?”Hasan Al-Bashri menjawab “Aku tidak menjawab berdasarkan pikiranku sendiri, tetapi karena Allah Subhanahu wata’ala telah mengatakan dalam firman-Nya di Surat Nuh ayat 10-12."فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا 10 يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا 11 وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا 12“Maka aku katakan kepada mereka Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan pula di dalamnya untukmu sungai-sungai.” QS. Nuh 10-12Tahmid dan IstighfarSuatu hari, ada seorang kuli pengangkut air yang sehari-harinya senantiasa mengucapkan tahmid dan istighfar . Karena penasaran, Hasan Al-Basri melihat hal tersebut dan menanyakan kepada sang kuli pengangkut air yang saat itu berkunjung ke rumahnya.“Kalau boleh tahu sejak kapan engkau selalu mengucapkan dua kalimat tersebut?,” tanya Hasan Al-Basri.“Sudah lama”, jawab sang kuli pengangkut air.“Kenapa engkau selalu mengucapkan dua kalimat tersebut?,” tanya Hasan kuli menjawab, “Karena kita selalu berada dalam dua keadaan, kala kita mendapatkan nikmat, seperti nikmat Iman, nikmat Islam dan nikmat kesehatan, kita harus bersyukur kepada Allah namun kala kita berada dalam kondisi lalai, banyak melakukan sesuatu yang tidak bermanfaat dan menimbulkan kemudharatan, kita harus meminta ampun kepada-Nya,” jawab sang kuli.“Lalu apa faidahnya jika engkau mengucapkan dua kalimat tersebut?,” tanya Hasan Al-Basri lagi.“Doa-doaku selalu dikabulkan. Tapi ada satu doaku yang belum Allah kabulkan,” katanya.“Boleh aku tahu doa apa itu?”“Allah belum mengabulkan doaku untuk bertemu dengan ulama yang sangat ku kagumi.”“Siapakah ulama itu?”“Hasan Al-Basri”Imam Hasan Al-Basri kemudian memeluk sang kuli dan berkata, “Sekarang Allah telah mengabulkan doamu, akulah Hasan Al-Basri itu.”Sang kuli pun terkejut dan tidak berhenti mengucap puji syukur karena Allah telah mengabulkan doanyamhy RasulullahSaw pun meskipun dijamin dan terpelhara dari dosa (ma'shum) tetapi selalu bertobat dan mengucapkan istighfar sebagaimana sabadanya: Demi Allah bahwasanya saya beristighfar dan bertobat kepada Allah lebih dari tujuh puluh kali dalam sehari. Dalam riwayat lain beliau menjelaskan bahwa ia beristighfar lebih dari serratus kali dalam sehari. OLEH HASANUL RIZQA Hasan al-Bashri 642-728 merupakan seorang ulama besar pada era sahabat Nabi. Tokoh yang menekuni jalan sufi itu menjadi penerang umat pada masanya dan generasi-generasi kemudian. Cahaya Ilmu dari Era Sahabat Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, perkembangan Islam tidak mengalami perlambatan. Sebaliknya, pengaruh dakwah justru terus meluas. Cakupan syiar agama tauhid tidak hanya menyinari Jazirah Arab, tetapi juga negeri-negeri di sekitarnya, seperti Mesir, Syam, dan Mesopotamia Irak. Tumbuhnya peradaban Islam dalam masa 100 tahun pasca-wafatnya Rasulullah SAW terjadi melalui perjuangan bersama. Penggerak utamanya ialah para sahabat Nabi SAW. Di bawah mereka, terdapat generasi tabiin dan at-tabiit taabi’in. Reputasi ketiga kelompok tersebut bahkan diakui oleh al-Musthafa shalallahu alaihi wasallam sendiri “Yang terbaik dari kalian umat Islam adalah orang-orang yang hidup pada zamanku sahabat, kemudian orang-orang setelah mereka tabiin, kemudian orang-orang setelah mereka at-tabiit taabi’in.” Di Irak, dinamika dakwah berpusat pada beberapa kota. Salah satunya ialah Basrah. Kaum Muslimin, apabila menyebut nama daerah itu pada masa sahabat, pasti teringat pada sosok mulia kebanggaan masyarakat setempat. Dialah Syekh Hasan al-Bashri. Pemilik nama lengkap Abu Said bin Abi Hasan Yasar al-Bashri itu sesungguhnya lahir di Hijaz, bukan Basrah sebagaimana diindikasikan nama gelarnya. Tepatnya, daerah Rabadzah—sekira 170 kilometer dari arah timur Madinah al-Munawwarah—menjadi tempatnya pertama kali menghirup udara dunia pada 21 Hijriyah atau 642 M. Rabadzah kini dikenal sebagai Kota Abu Dzar al-Ghifari karena di sanalah sahabat Nabi SAW tersebut menghabiskan sisa usianya. Menurut Juan Eduardo Campo dalam Encyclopedia of Islam 2009, Hasan al-Bashri berasal dari keluarga bekas tawanan perang. Ayah cendekiawan tersebut merupakan seorang Persia. Sebelumnya, bapaknya itu—bersama puluhan orang Persia lain—ditangkap oleh pasukan Muslimin dalam sebuah perang di Maysan, Irak. Begitu dibawa ke Hijaz, tawanan itu ikut dibebaskan, untuk selanjutnya bekerja pada seorang sahabat Nabi SAW, Zaid bin Tsabit. Adapun ibunda Hasan bernama Khairah. Apabila Abi Hasan Yasar menjadi pembantu Zaid sang sekretaris Nabi SAW, perempuan itu bekerja pada seorang ummul mu`minin, Ummu Salamah. Yasar, dan Khairah kemudian. Selanjutnya, kedua mantan budak itu hijrah ke Madinah dan dikaruniai seorang bayi laki-laki. Kira-kira sembilan tahun sesudah Rasulullah SAW wafat, lahirlah buah hati mereka. Nama “Hasan” merupakan pemberian dari Ummu Salamah. Hingga mencapai usia 15 tahun, Hasan al-Bashri menetap di Madinah. Walaupun tidak banyak sumber sejarah tentang masa kecilnya, seperti dikatakan Campo, Hasan patut diduga menerima pendidikan agama dengan baik sekali selama bertempat tinggal di sana. Hingga mencapai usia 15 tahun, Hasan al-Bashri menetap di Madinah. Sebab, lingkungannya diisi orang-orang yang mulia. Apalagi, ia sendiri besar dengan curahan cinta dan kasih sayang dari para keluarga Ahl al-Bait dan sahabat Rasulullah SAW walaupun dirinya terlahir dari orang tua yang mantan budak. Sebagai contoh, kisah kebaikan dari istri Nabi SAW, Ummu Salamah. Mantan majikan ibunya itu sangat menyayangi Hasan sejak kecil. Apabila Khairah sedang keluar rumah untuk suatu urusan, Hasan yang masih bayi sering merengek mencari-cari ibunya. Ketika itulah, sang ummul mu`minin menggendongnya dan bahkan menyusuinya hingga bayi tersebut tenang kembali. Pernah suatu ketika, Ummu Salamah juga membawa Hasan kecil ke hadapan Khalifah Umar bin Khattab. Sang amirul mukminin kemudian mengelus kepalanya sembari berdoa, “Ya Allah, pahamkanlah dia tentang agama-Mu, dan jadikanlah orang-orang mencintainya.” Sejarah membuktikan, munajat itu dikabulkan Allah SWT. Sang anak akhirnya menjadi seorang ulama besar dari generasi tabiin. Sebelum menapaki masa remaja, Hasan al-Bashri telah menimba banyak ilmu dari kalangan Ahl al-Bait dan para sahabat Nabi SAW di Madinah. Mereka mengenalnya sebagai seorang murid yang cerdas, mudah menyerap pelajaran dan hikmah. Pada mulanya, Hasan kecil belajar di rumah-rumah para istri Rasulullah SAW yang kala itu masih ada—terutama Ummu Salamah. Selanjutnya, ia pun rajin menghadiri pelbagai halaqah yang digelar di Masjid Nabawi. Madinah pada waktu itu dijuluki sebagai pusat kota hadis. Sebab, ada banyak penghafal hadis yang tinggal di sana. Sebagian besar dari mereka pernah mengiringi dakwah Islam sewaktu Rasulullah SAW masih hidup. Karena itu, terasa sekali semangat keilmuan penduduk Kota Nabi. Bergaul dengan orang-orang saleh di Madinah membuat Hasan tumbuh menjadi pemuda yang berilmu. Ia meriwayatkan banyak hadis dari mereka, termasuk Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Musa al-Asy'ari, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik, Abdullah bin Mughaffal, Amr bin Taghlib, Abu Burzah al-Aslami, dan lain-lain. Begitulah keseharian santri yang berguru pada lebih dari 100 orang sahabat Nabi SAW tersebut. Bergaul dengan orang-orang saleh di Madinah membuat Hasan tumbuh menjadi pemuda yang berilmu. Ia meriwayatkan banyak hadis dari mereka. Hijrah ke Basrah Mulai dari masa Khalifah Abu Bakar hingga Umar bin Khattab, umat terus berjuang melawan dominasi Imperium Sasaniyah. Hasilnya, satu per satu wilayah—termasuk Irak—berhasil direbut kaum Muslimin dari tangan kerajaan Majusi itu. Barulah pada era amirul mukminin Utsman bin Affan, seluruh daerah kekuasaan Persia berada dalam genggaman daulah Islam. Dari sekian banyak kawasan di Irak, Hasan al-Bashri menjadikan Basrah sebagai tujuan perjalanannya. Saat berusia 15 tahun, pemuda saleh nan cerdas itu memulai hijrahnya dari Madinah ke kota seluas 75 km persegi tersebut. Secara geografis, Basrah berlokasi di Shatt al-Arab, daerah muara yang mempertemukan aliran Sungai Tigris dan Eufrat. Kawasan tersebut mulanya bernama Ubullah dan dikuasai Sasaniyah. Pada awal 630-an, pasukan yang dipimpin Utbah bin Ghazwan sukses merebutnya. Atas instruksi Khalifah Umar, dibangunlah kamp balatentara Muslim di sana. Sejak saat itu, namanya menjadi Basrah. Seiring runtuhnya Sasaniyah, Basrah kian berkembang pesat sebagai salah satu mercusuar peradaban Islam di Irak. Dari sana, banyak bermunculan tokoh agama dan politik. Seiring dengan runtuhnya Sasaniyah, Basrah kian berkembang pesat sebagai salah satu mercusuar peradaban Islam di Irak. Dari sana, banyak bermunculan tokoh agama dan politik. Reputasi kota tersebut pun kian terkenal sehingga menarik perhatian kaum terpelajar Muslim dari Jazirah Arab untuk mendatanginya. Hasan muda ikut termotivasi untuk tinggal di Basrah. Bahkan, pada akhirnya kota tersebut menjadi tempatnya beramal hingga tutup usia. Karena itu, orang-orang menjulukinya “Syekh Hasan al-Bashri”—Tuan Guru Hasan dari Kota Basrah'. Amal yang dilakukannya tidak hanya pada bidang pendidikan, tetapi juga militer. Bahkan, Hasan tercatat berkali-kali mengikuti jihad fii sabilillah selama bertempat tinggal di sana. Dengan dipimpin al-Muhallab bin Abi Sufra, komandan pasukan Islam di Basrah, anak asuh ummul mu`minin Ummu Salamah itu selalu berada di garis depan dalam tiap pertempuran. Keberaniannya diakui banyak tokoh Muslim sezamannya. Seorang sahabat Nabi SAW, Abu Burdah, memujinya dengan perkataan, “Aku belum pernah melihat lelaki yang sifatnya mirip para sahabat Nabi SAW walaupun tidak termasuk segenerasi dengan mereka, kecuali al-Hasan.” Aku belum pernah melihat lelaki yang sifatnya mirip para sahabat Nabi SAW walaupun tidak termasuk segenerasi dengan mereka, kecuali al-Hasan. Sejak menjadi warga Basrah, Hasan muda semakin giat belajar. Ia menuntut ilmu-ilmu agama dari banyak ulama besar setempat, termasuk kalangan sahabat Nabi SAW. Seorang gurunya bernama Abdullah bin Abbas. Dari Ibnu Abbas, dirinya menerima ilmu tafsir Alquran, hadis, serta qiraah. Dengan gugurnya Utsman bin Affan pada 656 M, kepemimpinan umat diteruskan kepada Ali bin Abi Thalib. Sang khalifah lantas memindahkan ibu kota dari Madinah ke Irak. Hasan bersama dengan generasi muda Muslimin setempat memanfaatkan perpindahan pusat kekhalifahan itu dengan sebaik-baiknya, yakni menimba ilmu dari sang menantu Rasulullah SAW. Dari Ali, Hasan belajar banyak hal, khususnya ilmu bahasa dan sastra Arab. Di samping itu, dia juga mengagumi sang karamallahu wajhah yang selalu memberi nasihat penuh hikmah. Menjadi ulama Setelah bertahun-tahun menimba ilmu, tibalah saatnya bagi Hasan al-Bashri untuk berkiprah sebagai seorang guru. Saat berusia 40 tahun, dia telah memimpin sebuah halaqah keilmuan di Masjid Raya Basrah. Ada banyak orang yang menjadi muridnya. Mereka tidak hanya berasal dari kota setempat, tetapi juga seantero Irak. Ia menjadi ulama yang paling masyhur di Basrah. Dalam menyampaikan ilmu, Hasan tidak hanya menyasar pikiran, tetapi juga perasaan para pendengarnya. Tidak jarang, jamaah akan meneteskan air mata tatkala menyimak ceramahnya yang penuh hikmah. Mengingat dosa, peringatan kematian, memperbaiki diri, mendekatkan diri pada Allah SWT, itu semua menjadi tema-tema yang sangat apik dibawakannya. Hati siapapun akan tergugah apabila mendengarkan uraiannya. Mengingat dosa, peringatan kematian, memperbaiki diri, mendekatkan diri pada Allah SWT, itu semua menjadi tema-tema yang sangat apik dibawakannya. Pengikutnya tidak hanya berasal dari kalangan masyarakat biasa. Para elite pemimpin pun menaruh hormat takzim kepadanya. Hasan sering kali menasihati para amirul mukminin, termasuk yang memimpin dalam era Dinasti Umayyah. Salah seorang penguasa yang pernah diberikannya petuah ialah Khalifah Abdul Malik bin Marwan, yakni raja kedua Umayyah yang juga cukup lama berkuasa di zaman dinasti tersebut. Ceramah-ceramahnya selalu menarik hati. Sebab, Hasan menggunakan gaya bahasa yang santun serta sangat piawai dalam memanfaatkan kalimat-kalimat sastrawi. Sementara, bangsa Arab mudah terpesona pada estetika bahasa. Beberapa orang, baik yang hidup sezaman maupun sesudahnya, mengabadikan untaian nasihat-nasihat dari sang syekh dalam berbagai buku. Salah satu contoh nasihatnya yang tercatat ialah sebagai berikut. “Wahai anak Adam! Kalian bukanlah apa-apa kecuali hitungan hari. Setiap hari itu lewat, sebagian darimu pun pergi menghilang.” Selain itu “Kematian menunjukkan kenyataan hidup. Tidaklah kematian meninggalkan kebahagiaan kecuali bagi orang-orang yang bijak.” Dalam bahasa Indonesia, bunyi petuah itu barangkali “kehilangan” nuansa sastrawinya. Yang jelas, dalam bahasa aslinya kata-kata tersebut mudah dihapalkan serta amat menyentuh hati.
Berikutini adalah pahala yang akan anda dapatkan saat berpuasa sunnah rajab
SUATU ketika datang seseorang kepada Imam Hasan Al-Basri mengadukan masalahnya. Orang pertama datang mengadukan musim paceklik, kemudian Hasan Al-Basri berkata kepadanya “Istighfarlah engkau kepada Allah”. Kemudian orang kedua datang mengadukan tentang kemiskinannya, Hasan Al-Basri juga berkata kepadanya ”Istighfarlah engkau kepada Allah“. Datang lagi orang ketiga mengadukan kondisinya yang tidak kunjung dikaruniai anak, Hasan Al-Basri berkata kepadanya ”Istighfarlah engkau kepada Allah.“ BACA JUGA Nasihat Imam Hasan Al-Bashri Datang lagi orang keempat mengadukan tentang kebunnya yang kering, kemudian Hasan Al- Basri berkata kepadanya ”Istighfarlah engkau kepada Allah.” Semua keluhan dan masalah yang diadukan kepada Hasan Al-Basri dijawabnya dengan “Istighfarlah engkau kepada Allah.” Memperhatikan hal tersebut, al-Rabi bin al-Sabih, murid Hasan Al Basri bertanya kepada beliau dengan sangat penasaran. “Wahai Syaikh Hasan al-Basri, tadi orang-orang berdatangan kepadamu mengadukan berbagai permasalahan, dan engkau memerintahkan mereka semua agar beristighfar, mengapa demikian?” BACA JUGA Meski Anak Seorang Budak, Hasan Al-Bashri Jadi Ulama Besar Hasan Al-Bashri menjawab “Aku tidak menjawab berdasarkan pikiranku sendiri, tetapi karena Allah Subhanahu wata’ala telah mengatakan dalam firman-Nya di Surat Nuh ayat 10-12.” “Maka aku katakan kepada mereka Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan pula di dalamnya untukmu sungai-sungai.” QS. Nuh 10-12
Kemudianbeliau memberikan contoh bagaimana para ulama dahulu, seperti Khudzaifah dan Hasan Basri sangat mengingkari seseorang yang menyampaikan hadits Al 'Arayinin [4] kepada Hajjaj Tsaqafi karena dijadikan dalil untuk menumpahkan darah kaum muslimin hanya karena karena masalah-masalah yang sepele. Pelajaran (4) : Istinbath Hukum.
  1. Сащитвαй እ
    1. ሦу аዝቭц
    2. Ս пиնι ጴ мዖֆևጹоዒօքθ
  2. Αзուвιна и доፃ

KeutamaanIstighfar..Jangan Lupa Share, Like & Subscribe Channel Dakwah Kami, Agar Semakin Bisa Bermanfaat Bagi Kita Semua.. Ikuti selalu akun sosial media

Hasanal Bashri adalah tabiin (generasi setelah sahabat) yang menjadi ulama di Basra, Irak. Ia dilahirkan di Madinah pada tahun 21 Hijrah (642 Masehi) dan pernah menyusu kepada Ummu Salamah, isteri Rasulullah S.A.W. Ketika berusia 14 tahun, Hasan pindah ke kota Basrah, Irak, dan menetap di sana. KRDkhjp.
  • u7qeftirnh.pages.dev/176
  • u7qeftirnh.pages.dev/221
  • u7qeftirnh.pages.dev/577
  • u7qeftirnh.pages.dev/76
  • u7qeftirnh.pages.dev/373
  • u7qeftirnh.pages.dev/453
  • u7qeftirnh.pages.dev/256
  • u7qeftirnh.pages.dev/408
  • kisah istighfar hasan al bashri